Ukiran Jepara atau seni ukir Jepara merupakan seni ukir khas yang
berasal dari Jepara. Jepara yang terkenal dengan sebutan Kota Ukir, kini
berubah menjadi Kota Ukir Dunia. Setelah meningkatkan citra Jepara “The
World Carving Center”, karena produk-produk ukir Jepara sudah sangat
terkenal dan sangat banyak penyuka seni ukiran Jepara dari berbagai
negara. AS Merupakan Negara Tujuan Ekspor Terbesar Jepara. Negara tujuan
ekspor mebel Ukiran Jepara tahun 2015 juga mengalami kenaikan menjadi
113 negara dengan jumlah eksportir sebanyak 296 pengekspor, sedangkan
tahun 2014 nilai ekspornya hanya 114,78 juta dolar AS dengan 223
pengekspor untuk negara tujuan 106 negara.
Pengukir Jepara pada jaman kolonial Belanda, sumber gambar: Oleh
Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures, CC BY-SA
3.0, https://commons.wikimedia.org/w/inde...?curid=8606473
Legenda
Versi pertama
Konon
ada sebuah cerita unik yang menjadi kisah sejarah asal mula munculnya
seni ukir di Jepara. Cerita ini menjadi sebuah dongeng sebelum tidur
saya ketika masih kecil dulu. Bapak saya sering menceritakannya,
berulang-ulang, dan saya tidak pernah bosan mendengarnya.
Begini
ceritanya. Pada zaman dahulu kala ada seorang pengukir dan pelukis dari
Kerajaan Majapahit, Jawa Timur. Waktu itu masa pemerintahan raja
Brawijaya. Pengukir itu bernama Prabangkara disebut juga Joko Sungging.
Lukisan dan ukiran Prabangkara sudah sangat terkenal di seluruh negeri.
Suatu
ketika Raja Brawijaya ingin memiliki lukisan istrinya dalam keadaan
telanjang tanpa busana sebagai wujud rasa cinta sang raja. OIeh karena
itu, Prabangkara dipanggil untuk mewujudkan keinginan sang Raja. Hal ini
tentu merupakan hal yang sulit bagi Prabangkara, Karena meskipun
mengenal wajah sang istri raja, tapi dia tidak pernah meilhat istri raja
tanpa busana. Dengan usaha keras dan imajinasinya, akhirnya Prabangkara
berhasil mengerjakan lukisan tersebut. Ketika Prabangkara sedang
istirahat, tiba-tiba saja ada seekor cecak buang tinja dan mengenai
lukisan permaisuri tersebut. Kotoran cecak tersebut mengering dan
menjadi bentuk seperti tahi lalat. Raja tentu sangat gembira dengan
hasil karya Prabangkara tersebut. Sebuah lukisan yang sempurna, persis
seperti aslinya. Sang raja mengamati lukisan tersebut dengan teliti.
Begitu dia melihat tahi lalat, raja murka. Dia menuduh Prabangkara
melihat langsung permaisuri tanpa busana. Karena lokasi tahi lalat
persis seperti kenyataan.
Raja
Brawijaya pun cemburu dan menghukum pelukis Prabangkara dengan
mengikatnya di layang-layang, kemudian menerbangkannya. Layang-layang
itu terbang hingga ke Belakang Gunung di Jepara dan mendarat di Belakang
Gunung itu. Belakang Gunung itu kini bernama Mulyoharjo di Jepara.
Kemudian Prabangkara mengajarkan ilmu mengukir kepada warga Jepara pada
waktu itu dan kemahiran ukir warga Jepara bertahan dan lestari hingga
sekarang.
Versi Kedua
Menurut
sejarah mengapa masyarakat Jepara mempunyai keahlian di pahat ukir[2]
kayu adalah konon pada zaman dulu kala ada seorang seniman hebat yang
bernama Ki Sungging Adi Luwih. Dia tinggal di kerajaan. Kepiawaian Ki
Sungging ini terkenal dan sang raja pun akhirnya mengetahuinya. Singkat
cerita raja bermaksud memesan gambar untuk permaisurinya kepada Ki
Sungging. Ki Sungging bisa menyelesaikan gambarnya dengan baik namun
pada saat Ki Sungging hendak menambahkan cat hitam pada rambutnya, ada
cat yang tercecer di gambar permaisuri tersebut bagian paha sehingga
tampak seperti tahilalat.Kemudian diserahkan kepada raja dan raja sangat
kagum dengan hasil karyanya. Namun takdir berkata lain sang raja curiga
kepada Ki Sungging difikir Ki Sungging pernah melihat permaisuri
telanjang karena adanya gambar tahi lalat pada pahanya. Akhirnya raja
menghukum Ki sungging dengan membawa alat pahat disuruh membuat patung
permaisuri di udara dengan naik layang-layang. Ukiran patung permaisuri
sudah setengah selesai tapi tiba-tiba datang angin kencang dan patung
jatuh dan terbawa sampai Bali. Itulah sebabnya mengapa masyarakat Bali
juga terkenal sebagai ahli membuat patung. Dan untuk alat pahat yang
dipakai oleh ki Sungging jatuh di belakang gunung dan ditempat jatuhnya
pahat inilah yang sekarang diakui sebagai Jepara tempat berkembangnya
ukiran.
Sejarah
Pada
masa Kerajaan Kalinyamat arsitektur Jepara mengalami kemajuan terutama
dalam bidang ukir-ukiran. Tepatnya ketika Tjie Bin Thang (Toyib) dan
ayah angkatnya yaitu Tjie Hwio Gwan pindah ke Jawa (Jepara), Ketika Tjie
Bin Thang (Toyib) menjadi raja di sebuah Kerajaan Kalinyamat, dimana
Toyib menjadi raja bergelar Sultan Hadlirin dan Tjie Hwio Gwan menjadi
patih bergelar Sungging Badar Duwung. Arti dari gelar Sungging Badar
Duwung yaitu (sungging "memahat", badar "batu", duwung "tajam"). Nama
sungging diberikan karena Badar Duwung adalah seorang ahli pahat dan
seni ukir.
Tjie Hwio Gwan adalah yang membuat hiasan ukiran di dinding Masjid
Astana Mantingan. Ialah yang mengajarkan keahlian seni ukir kepada
penduduk di Jepara. Di tengah kesibukannya sebagai mangkubumi Kerajaan
Kalinyamat (Jepara), Patih Sungging Badar Duwung masih sering mengukir
di atas batu yang khusus didatangkan dari negeri Tiongkok. Karena
batu-batu dari Tiongkok kurang mencukupi kebutuhan, maka penduduk Jepara
memahat ukiran pada batu putih dan kayu. Tjie Hwio Gwan mengajarkan
seni ukir kepada penduduk Jepara, sehingga arsitektur rumah di Jepara
dihiasi ornamen-ornamen ukir karena warga Jepara yang trampil dalam seni
ukir, bahkan kini produk furniture kayu ukiran Jepara dikenal keseluruh dunia.
Bukti
otentik ukiran Jepara berupa artefak peninggalan zaman Ratu Kalinyamat
di Masjid Mantingan. Ukiran Jepara sudah ada jejaknya pada masa
Pemerintahan Ratu Kalinyamat (1521–1546) pada 1549. Sang Ratu mempunyai
anak perempuan bernama Retno Kencono yang besar peranannya bagi
perkembangan seni ukir. Di kerajaan, ada mentri bernama Sungging
Badarduwung, yang datang dari Campa (Cambodia) dan dia adalah seorang
pengukir yang baik. Ratu membangun Masjid Mantingan dan Makam Jirat
(makam untuk suaminya) dan meminta kepada Sungging untuk memperindah
bangunan itu dengan ukiran. Sampai sekarang, ukiran itu bisa disaksikan
di Masjid dan Makam Sultan Hadlirin. Terdapat 114 relief pada batu
putih. Pada waktu itu, Sungging memenuhi permintaan Ratu Kalinyamat.
Sentra ukir Jepara
Keberadaan sentra-sentra ukir Jepara mempermudah pembeli mencari barang
serta produksi semakin efisien. Mulai dari sentra relief, patung,
gebyok, almari, dan lain-lainnya. Pemkab Jepara memusatkan ukiran
Jepara, yaitu:
1. Sentra Ukir Patung, di Desa Mulyoharjo
Kebanyakan masyarakat Desa Mulyoharjo merupakan pengukir dan pemahat
patung kayu, Oleh karena itu kini desa Mulyoharjo menjadi Sentra
Kerajinan Ukir Patung. Jenis seni patung yang terkenal dan legendaris
dari Mulyoharjo adalah patung Macan Kurung. Mantan presiden Susilo
Bambang Yudoyono juga pernah sengaja berkunjung ke Desa Mulyoharjo untuk
membeli produk kerajinan dari Desa Mulyoharjo.
2. Sentra Ukir Relief, di Desa Senenan
Desa Senenan merupakan sentra pengrajin seni ukir relief. Ada rasa kagum
dan takjub ketika pertama kali melihat seni yang satu ini. Bagaimana
tidak daribsebuah papan kayu utuh kemudian dipahat sedemikian rupa
hingga berubah wujud menjadi gambar tiga dimensi yang benar-nenar hidup.
desainnya pun kini semakin berkembang,tidak hanya gambar pemandangan
saja ketika pertama kali kerajinan imi ada namun berkembang denga desain
dimensi yang lain.
3. Sentra Ukir Minimalis, di Desa Petekeyan
Mayoritas masyarakat Desa Petekeyan bergelut dibidang Industri Kerajinan
Ukir Meubel Minimalis. Oleh karena itu kini desa Petekeyan menjadi
Sentra Kerajinan Meubel Minimalis Hasil dari Industri masyarakat Desa
Petekeyan dipasarkan secara langsung di showroom milik pengrajin. Selain
dipasarkan secara offline, hasil masyarakat juga dipasarkan secara
online oleh pengusaha furniture Desa Petekeyan. Nama website yang
memasarkan produk masyarakat adalah Petekeyan Kampoeng Sembada Ukir.
4. Sentra Ukir Gebyok, di Desa Blimbingrejo
Gebyok Ukir Jepara sangat cocok untuk di jadikan pintu rumah ataupun
pintu masjid sehingga semakin membuat rumah anda semakin menarik dan
unik. Desa Blimbingrejo sudah menjadi Sentra Ukir Gebyok sejak tahun
1980-an hingga sekarang. Saat ini di desa tersebut sudah ada 90 orang
pengrajin, dengan jumlah total pekerja mencapai lebih dari 300 orang.
Karena dari setiap pengrajin besar bisa memperkerjakan 6-14 orang,
sedangkan untuk pengrajin kecil biasanya memperkerjakan sebanyak 2-3
karyawan saja.
5. Sentra Ukir Bambu, di Suwawal Timur
6. Sentra Ukir Lemari, di Desa Bulungan
Warga Desa Bulungan mayoritas bekerja sebagai pembuat produk mebel ukir
terutama berbentuk almari. almari produksi Desa Bulungan yang selama ini
sudah diminati berbagai kalangan baik di Pulau Jawa dan luar Jawa.
sektor mebel khususnya almari mampu menyerap banyak tenaga kerja, mulai
dari pengusaha kayu, perajin, showroom, jasa angkutan dan lain
sebagainya. Nilai transaksi yang dihasilkan dari sektor ini juga
mencapai ratusan juta rupiah tiap bulannya. Selama ini pemasaran almari
Bulungan tidak hanya di kota-kota besar di Pulau Jawa.saja, tetapi juga
merambah kawasan luar Pulau Jawa seperti Sumatra, Kalimantan, Aceh dan
lain sebagainya.
7. Sentra Ukir Genteng, di Desa Mayong Kidul
Genteng Ukir Jepara adalah genteng dengan bentuk ukir-ukiran Jepara,
genteng tersebut yang banyak di produksi di Mayong, yaitu Genteng
Makuta, Genteng Gatotkaca, Genteng Krepyak.
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Ukiran_Jepara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar